Sabtu, 23 Juli 2011

Berakhir Dalam Lima


Berakhir dalam Lima



Menunggu. Menanti. Dua buah kata berbeda dengan kesamaan arti. Tak mengenal jabatan, tak mengenal jenis. Siapapun, apapun, pasti pernah atau bahkan sedang menunggu.
Seperti ia. Gadis muda dari Jakarta. Yang selalu berada di tempat yang sama di taman kota. Menanti kedatangan seorang pria muda. Siapa dia? Hanya ia yang mengetahuinya. Dengan atribut pakaiannya yang hampir selalu sama. Terusan selutut dengan gambar bunga-bunga mungil berwarna-warni menghiasi seluruh permukaannya. Bolero sebatas dada berwarna ungu tua tak lupa ia kenakan pula. Gelang-gelang kain berwarna cerah, tas jinjing berwarna hijau kelam, sepatu keds berwarna putih pun tak ketinggalan. Hanya saja, semua itu kontras dengan apa yang tengah dirasakannya kini.
Gelisah. Cemas. Was-was. Kekhawatiran yang teramat sangat. Kesal. Marah. Jengkel. Semua bercampur aduk menjadi satu, berputar-putar tak tentu dalam hatinya. Menciptakan suatu emosi asing yang tak pernah kuasa ia tahan. Kegalauan.
Apa yang menyebabkan itu semua? Mengapa bisa seperti itu? Bagaimana semuanya bisa terjadi? Dan kenapa semuanya terjadi padanya?
Hanya satu jawaban. Pria muda yang menitipkan janji padanya untuk menunggunya pulang dari suatu tempat yang teramat jauh darinya. Dan pria muda yang sama yang membuatnya menunggu terlalu lama.

* * * * *

Penantian pertama.
Saat itu, siang sedang bangga. Matahari yang selalu menemaninya, bersinar cerah membakar kulit setiap manusia di bumi belahan selatan ini. Tak luput dari panas yang membara itu adalah Riva. Gadis muda yang sedang berbahagia karena akhirnya menemukan tambatan hatinya yang kini tengah menimba ilmu di negeri Paman Sam agar kelak bisa meminangnya saat ia pulang membawa nama.
Memang tak terasa begitu besar, namun kekhawatiran itu benar-benar memenuhi otaknya. Bagaimana bila pemudanya menemukan gadis lain? Bagaimana bila pemudanya lupa padanya? Ah, masa bodohlah. Tak usah berpikir macam-macam. Yakin saja ia akan kembali. Berada di sisinya kembali.
Memang rasa galau itu masih sangat dini. Tapi siapa yang tahu bahwa mungkin esok hari, kegalauan itu akan semakin menjadi.

* * * * *

Penantian kedua.
Hari sudah menunjukkan tanda-tanda kegelapannya. Matahari pun sudah kembali ke peraduannya. Namun gadis muda itu masih terus saja menunggu. Menanti sang pemuda kembali dari meraih mimpi. Sudah sebulan ia melakukan aktifitas pasif ini. Hanya menunggu dan menunggu. Tak peduli sampai kapan, ia terus menunggu.
Kerabat dekatnya mulai khawatir. Mereka tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadis muda ini. Tapi, apa mau dikata? Menasihati gadis muda ini sama saja dengan menasihati tembok. Tak berguna. Tak ada sautan bila ia ditanya. Tak ada balasan bila ia disapa. Hanya satu yang dipikirannya. Pria muda yang setia ditunggunya.
Entah untuk yang ke berapa kali, gadis itu melihat layar ponselnya. Ketika ia menemukan jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, ia mendesah tanpa emosi maupun rasa. Masih terlalu dini baginya untuk kembali ke rumahnya. Dan ia pun melanjutkan kegiatannya sejak subuh tadi.
Menunggu.

* * * * *

Penantian ketiga.
Lima bulan terlewatkan sudah. Lembar demi lembar surat terkirim sudah pada pemudanya. Namun tak satupun balasan diterimanya. Tak setitikpun informasi ia dapatkan. Kekhawatirannya sudah lama meledak, terlontar entah kemana. Berganti dengan emosi baru itu. Gelisah.
Berulang kali ia melongok arloji yang melingkar di tangannya. Arloji pemberian pemudanya saat ulang tahun keduapuluh satunya. Yang berwarna ungu tua. Warna favoritnya. Memandang arloji itu, tak sadar bulir bening menetes tanpa ijin dari pelupuk matanya, melesat indah di pipinya, dan akhirnya jatuh menetes dari dagunya, mengenai bumi pertiwi. Tak sampai sedetik kemudian, bulir bening lain menyusul.
Hening suasana taman kota kini terisi isak tangisnya. Isak tangis seorang gadis yang hampir putus asa.

* * * * *

Penantian keempat.
Hampir dua tahun sudah ia menunggu. Menunggu kedatangan pemudanya untuk sekedar mengucap salam. Menanyakan bagaimana kabarnya. Apakah ia rindu padanya. Namun hal itu tak kunjung pula terealisasikan.
Dua tahun sudah pemudanya berada jauh di sana. Seharusnya ia sudah pulang hari ini. Seperti janjinya dua tahun lalu. Ya, tepat hari ini. Tepat di hari ulang tahun sang gadis muda. Di hari bahagianya ini, ia justru malah semakin sedih. Dan kesedihan itu pun berganti dengan yang lain. Marah dan kesal. Namun kepada siapa ia harus melampiaskannya? Hati dan pikirannya sudah tak mampu menahan penantian ini! Tuhan, tolonglah! Sampaikan padanya, cepatlah pulang...

* * * * *

Penantian kelima.
Akhir dari segalanya.
Empat tahun sudah ia menunggu seperti biasa di taman kota Jakarta. Yang penuh debu dan asap menyesakkan sebagaimana rindangnya pohon-pohon yang tumbuh di sana. Sama dengan hati dan pikirannya. Semua sudah sesak akan kekhawatiran, kegalauan, kesedihan, kekesalan. Di sini, di taman kota ini, ia tumpahkan segala rasa dan emosi yang dipendamnya selama empat tahun ini, yang tak pernah bisa luapkan ini, karena tak ada satupun yang bisa ia jadikan pelampiasan.
Dikeluarkannya sebuah benda berbentuk persegi panjang yang mengkilap. Dibukanya lipatan yang ada, dan muncullah sebuah pisau mungil yang bahkan lebih tajam dari pisau daging di pasar-pasar. Pelan-pelan, ia dekatkan pisau mungil tersebut pada pemukaan kulit pergelangan tangannya. Sejenak ia membiarkan pisau itu berhenti sebelum ia mengakhiri semuanya.
“Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, Damar. Tak kuasa batinku tersayat akan ketidakhadiranmu di sini. Mungkin ini yang terbaik. Untukku, untukmu, untuk semuanya. Selamat tinggal Ayah Ibu. Selamat tinggal, Da...” Kata-katanya harus terpotong karena sekelebat bayangan menyambar pisau mungil itu dari tangannya yang gemetar hebat. Sosok itu melipat pisaunya. Ia masukkan dalam kantung celana jins belelnya. Tersirat ketidakpercayaan pada wajah tampannya. Sedang sang gadis hanya ternganga tak percaya melihat sosok di hadapannya ini.
“Sudah kubilang, tunggulah aku. Aku pasti kembali padamu.”
Serta merta sang gadis memeluk sosok itu erat. Bulir-bulir bening mengalir deras menuruni pipi dan dagunya, meninggalkan sarangnya di pelupuk mata sang gadis muda. Satu kata terus terucap dari bibir mungilnya, yang membuat sosok tersebut tertawa bangga.
Damar.

Waiting For Raissa


Waiting for Raissa

Raissa menatap sepasang pasangan baru itu dengan bahagia. Berdiri di sampingnya seorang pemuda tampan bernama Rio. Dia berdiri tenang di dekat Raissa dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya. Dan di depan mereka kini pun ada sepasang pasangan baru. Zeva dan ... Mirza. Mereka baru saja jadian. Membuat Raissa sedikit tercekat namun kemudian mengubah muka kagetnya dengan senyuman bahagia.
            “Gak usah pura-pura seneng gitu, deh, Rai.” bisik  Rio tak kentara, namun cukup membuat muka bahagia Raissa menegang. Dia hanya menoleh sekilas. Lalu menatap Mirza dengan senyum terkembang kembali. Sebegitu kelihatannya kah kepura-puraannya ini ?.
            “Jadi kapan, nih, mau nraktir gue? Gak mungkin kan kalian gak ngerayain ini.”, Raissa berkata dengan riangnya.
            “Tenang aja, Rai. Gak mungkin mereka gak nraktir kita. Duit banyak gitu.”, Raissa menoleh malas mendengar Rio tertawa pelan.
            “Besok, deh. Besok dateng aja ke Green Leaf cafe. Gue sama Zeva nunggu di sana. Ok? Eh, BTW nih, gue mau balik dulu ke dalem, yah ! Uda ditunggu ama anak-anak. Abis ini ada kuliah lagi.”, Mirza tak lupa berpamitan pula dengan Zeva. Dan dengan sekejap, pasangan baru itu menghilang dari hadapan Raissa dan Rio. Zeva juga berpamitan untuk pergi menemui dosennya. Jadilah sekarang Raissa berjalan menyusuri taman Falkutas Psikologi universitasnya. Raissa terlihat menatap jalan di depannya. Berusaha tidak menampakkan wajah berpikirnya. Tentu saja memikirkan Mirza. Namun lagi-lagi, Rio dapat menangkap raut sedih dari muka temannya ini. Walaupun baru kenal satu semester yang lalu, tepatnya saat masuk di universitas ini, dia sudah bisa memahami temannya yang satu ini.
            “Rai, maen yok.”, ajak Rio di sela-sela perjalanan mereka.
            “Hmm? Maen? Ogah ah, males banget. Tugas gue masih banyak yang keteteran nih. Ntar malah tambah stress lagi kalo ditinggal maen.” Raissa memang tidak bisa meninggalkan tugasnya yang banyak terbengkalai karena terlalu banyak di akhir semester pertama ini.
            “Makannya kita maen. Biar  tu otak gak stress. Buat nglupain sejenak kesibukan loe yang gak ketulungan itu. Apalagi ditambah ama petir menyambar di siang bolong tadi.” Rio menatap lurus jalan di depannya, sedang Raissa menoleh cepat saat mendengar kalimat terakhir dari Rio. Apa maksudnya petir di siang bolong? Mirza? Apa mungkin? Ah, bukankah anak ini sudah tahu isi hatinya tadi. Dia tak perlu berpura-pura tidak mengerti apa maksud Rio barusan. Dia jelas-jelas mengerti maksudnnya. Jelas saja Mirza yang ia maksud.
            “Gue gak apa-apa, kok. Tentang Mirza tadi. Gue malah seneng akhirnya dia punya pacar. Masa iya sih, gue gak suka liat temen gue bahagia.”, Raissa berkata seolah-olah Rio adalah anak kecil yang bisa percaya dengan apa yang dikatakan Raissa. Rio menoleh sebentar. Tersenyum samar. Lalu menghela napas pelan.
            “Mending loe belajar bo’ong dulu deh ama pemerintah negara kita ini, akting bo’ong loe itu bener-bener ancur tahu gak. Ckckckck... menyedihkan banget sih loe, Rai.”, muka tegar Raissa hilang seketika. Dia tahu, dia tidak akan bisa menyembunyikan apa pun dari Rio. Dia terlalu pintar untuk dia bohongi. Raissa merasa dia tak ingin berkedip kali ini. Dia tak ingin air matanya mengalir jika ia mengedipkan matanya. Dan sekejap, Rio menarik kepala Raissa ke dalam pelukannya. Kini Raissa bisa menangis sepuasnya. Siang itu, Rio hanya diam memeluknya tanpa melontarkan kata- kata penenang bagi Raissa. Dia tahu, hanya tangis yang ingin Raissa bagi dengannya. Lebih dari seperempat jam Raissa menangis di pelukan pemuda tampan ini. Hingga dia merasakan dia telah lelah.
            “Udah selese?  Kemeja gue basah nih. Hehe..”, Rio nyengir kuda di depan Raissa.
            “Ihh.. nyebelin banget sih loe.” Raissa memukul dada Rio pelan. Rio hanya tersenyum geli lalu memeluknya sekali lagi. Kali ini tak selama tadi.
            “Jadi mau maen ke mana?” kali ini Raissa yang bertanya. Dia pikir-pikir ada benarnya juga kata Rio. Senyum Rio benar-benar mengembang sumringah kini. Akhirnya, ni anak sadar juga. Tugas kuliah gak selamanya penting. Batin Rio senang.
            “Keliling Semarang gimana? Bertahun-tahun loe tinggal di sini udah pernah keliling Semarang belom?”, tanya Rio merendahkan. Dia pikir Raissa akan membantah perkataannya tadi. Namun dia melihat Raissa menggelengkan kepalanya pelan dengan sedikit malu.
            “Oh, God. Seriusan loe? Parah banget, sih! Gue aja yang baru 7 bulan di sini dah nyobain semua tempat di Semarang. Gak semua sih. Tapi gue yakin gue lebih banyak liat tempat-tempat keren di Semarang dibandingin elo.”
Dan siang itu, mereka berdua sibuk berdebat tentang tempat- tempat mana dulu yang akan mereka kunjungi. Seperti biasa, Rio lebih memilih tempat-tempat outdoor yang menyatu dengan alam, ato tempat sejarah. Sedang Raissa lebih memilih mall atau tempat-tempat yang dia bisa berjalan dengan tenang. Taman.
                                                            @@@
From : RioRioRio
Lo lg dmana? Gw tggu di prkiran. Cpt !!
Raissa membacanya malas. Sebenarnya hari ini dia ingin duduk di kamarnya mengerjakan tugas yang menumpuk. Namun karena dia sudah menyetujui untuk pergi jalan bersama Rio dia harus rela pulang kuliah diculik dulu sama Rio. Dia melangkah agak cepat menuju parkiran timur. Di tikungan menuju parkiran, langkahnya sedikit melambat melihat Mirza dan Zeva yang berjalan denga tawa terukir di bibir mereka. Raissa bisa mengerti mereka sangat bahagia. Mereka tak melihat kehadiran Raissa, karena memang mereka ada di ujung koridor menuju lantai dua. Raissa menggelengkan kepalanya pelan, lalu mulai melangkah cepat menuju parkiran tempat Rio berada.
Raissa langsung memasuki honda City milik Rio. Rio menatap Raissa lama. Lagi-lagi wajah Raissa dibuatnya seakan-akan tak terjadi apa-apa. Dan lagi-lagi Rio tahu kalau tadi Raissa menyaksikan adegan yang membuatnya susah payah menelan ludah. Sebelumnya Rio juga melihat Mirza dan Zeva keluar dari CRV milik Mirza tadi. Dan dia yakin, muka Raissa yang terlihat sedih kali ini juga pasti karena dia melihat pasangan serasi itu sedang berbahagia.
“Kenapa? Kok gak jalan jalan ?”, tanya Raissa heran saat Rio masih dengan posisinya menatap Raissa datar. Rio memutar kepalanya, lalu menghidupkan mesin mobilnya. Raissa bernapas lega karena kali ini Rio tidak menyadari raut sedih di mukanya. Walaupun dia sempat heran juga, apakah Rio benar-benar tak menyadarinya? Gak biasanya. Ucap Raissa dalam hati.
“Kita mau ke mana, nih?”, Raissa memecah keheningan. Sepanjang perjalanan ini Rio belum juga berbicara sepatah kata pun. Dia jadi sedikit khawatir. Oh, khawatir. Benarkah. Rasanya dia tak perlu mengkhatirkan cowok kayak dia. Rio tak menjawab pertanyaan Raissa. Dia hanya menoleh ke arah Raissa dengan muka lucunya, sambil tersenyum.
“Loe mudeng bahasa Indonesia kaga, sih? Kita mau ke mana Mario Stevano yang tajirnya ngalahin Daniel Radcliffe ?”, Raissa bertanya dengan penekanan di kalimat terakhirnya. Ia sudah sedikit bisa melupakan kejadian tadi. Bahkan mungkin tak ingat lagi, karena kini dia sedang berfokus dengan diamnya Rio. Dan Raissa makin menampakkan wajah heran plus kesalnya saat mendapati Rio malah tertawa renyah dengan tanpa mengalihkan tatapan pada jalan di depannya.
“Gue gak akan nanyain kenapa loe masuk ke mobil gue dengan wajah sedih. Gue tahu kok. Gue juga tadi liat mereka di parkiran. Gue cuman pengen loe itu gak bo’ong lagi sama perasaan loe sendiri. Kalo sedih ya sedih aja. Gak usah umpet-umpetin kalo sama gue. Ntar diumpetinnya sama mereka aja. Ngerti loe?”, Rio mengakhiri kalimatnya dengan menatap Raissa sekilas. Raissa tertegun mendengar ucapan Rio barusan. Ternyata cowok ini benar-benar mengerti perasaannya. Dia kira tadi aktingnya berhasil gara-gara Rio tidak menanyakan raut muka sedihnya. Namun, lagi-lagi dia harus tahu bahwa tak ada yang bisa disembunyikannya dari Rio. Bahu Raissa tergoncang pelan. Dia tertawa menyadari perkataan Rio tadi.
“Eh, gilak loe ya. Kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?”, Rio menoleh sekilas.
“Gue sadar, cuman loe yang bisa ngertiin perasaan gue, Yo. Padahal gue udah ngerahin seluruh keahlian akting gue biar loe gak tahu kalo gue lagi sedih. Tapi lagi-lagi gue lupa, lupa kalo loe itu ngerti banget tentang gue. Thanks yak.”, Raissa tersenyum sampil menepuk pundak Rio. Dan sepanjang perjalanan tadi, Raissa terdengar berceloteh ria mengamati jalanan Pandanaran yang sudah beberapa hari ini jarang dia kunjungi. Rio dapat melihat keceriaan Raissa sedikit kembali. Walaupun ia tahu, Raissa bisa saja tiba-tiba terdiam jika melihat tempat-tempat yang dulu sering ia sambangi bersama Mirza dan juga dirinya.
“Loe mau jadian sama gue?” tanya Rio sangat nekat. Raissa jelas mendegarnya. Dia melongo medengarnya.
“Loe gilak yak? Ogah banget.”
“Gue tahu loe gak bakal mau. Tapi, kalo loe butuh gue buat ngelupain Mirza, gue siap kok. Eh, loe gak perlu jadian sama gue, tapi kita jalan kayak orang pacaran. Janjinya, loe gak boleh jatuh cinta sama gue. Sanggup gak, loe? ” Senyum Raissa mengembang, mengangguk pelan, tanda setuju dengan tawaran Rio.
2 bulan mereka menjalani ini semua. Pulang bareng, berangkat baren, hang out bareng. Ini semua menjadikan mereka sangat dekat. Hingga tersiar kabar bahwa mereka telah jadian. Namun tiap kali ditanya, Rio selalu dengan lancar menjawab bahwa dia memang menyukai Raissa namun dia tahu Raissa tak mau menerimanya sebagai pacar. Jadi jalani apa adanya saja. Kalo suatu saaat Raissa mau jadian dengan dia, ya alhamdulillah. Kalau nggak ya memang bukan rejekinya dia. Itulah jawaban Rio setiap kali ditanya perihal dia dan Raissa. Dan kini dia sudah dapat menjawabnya dengan lancar.
Dan Raissa sendiri, siapa yang menyangka kalau kebersamaannya dengan Rio berubah menjadi aneh seperti ini, dia merasa Rio bukan lagi sahabat yang selama ini dia anggap sebagai kakaknya. Dan kini bagi Raissa, tak mendapat kabar keberadaan Rio sebentar saja rasanya seperti.. entahlah, dia selalu merindukan Tuan Muda itu. Dan yang sangat Raissa sadari, dia sangat addicted terhadap Rio. Dia tak bisa membuka akun twitternya tanpa melihat timeline milik RioStevano. Tak bisa membuka akun facebooknya tanpa melihat profile milik Mario Stevano. Adakah perubahan perasaan ? Entahlah, Raissa tidak tahu.
Raissa benar-benar dilanda kebingungan. Tadi pagi Rio bilang tak bisa menjemputnya seperti biasa. Dan di kampus pun Raissa tak bisa menemukan batang hidungnya. Tak tahukah dia Raissa khawatir setengah mati dengan keadaannya. Kebingungannya berujung di taman kampusnya. Dia duduk termenung memandangi kolam di tengah taman itu. Dia mulai sibuk dengan pikirannya. Ada apa dengan dirinya ? Sebegitu pentingkah Rio baginya ? Memangnya dia siapa? Pacar Raissa? Bukan, jelas-jelas Raissa telah menolak Rio dahulu itu. Walaupun Raissa pikir dia sedang bercanda, tapi tahu bahwa dia memang menyukai Raissa lewat jawaban sama yang selalu dia katakan pada teman-temannya, rasanya Raissa benar benar kaget. Entahlah, namun Raissa mengaku senang mendengar pengakuan Rio itu.
Dan akhirnya, mungkin benar karena cinta berawal dari kebersamaan yang sering mereka jalani berdua. Raissa malu akan penolakan pertamanya dahulu pada Rio. Ah, sudahlah. Sore kemarin, dia mendapati Rio menjemputnya di depan kampus mereka. Raissa tersenyum tipis, seraya menghambur ke pelukan Tuan Mudanya itu. Dia hampir menangis. Tak tahu harus berkata apa, dia hanya sadar satu hal, Tuan Muda ini adalah orang yang telah meminjamkan bahunya untuk Raissa menangis. Orang yang bersedia menjadi obat bagi rasa kehilangannya. Dan kini, dia tahu, dialah orangnya. Orang yang akan selalu menjadi sandarannya kapan pun dia butuhkan. Tak tahukah Rio, Raissa bingung setengah mati karena memikirkan Rio seharian yang tak nampak ini. Kata yang paling diingat oleh Raissa sore kemarin itu, “Loe bisa jadi cewek gue kapan aja loe mau. Gue tetep nunggu loe.” Dan Raissa memutuskan sekaranglah saat yang tetap untuk memberi Rio ruang spesial di hatinya. Dan harapan selamanya bersama Rio dia sematkan dalam setiap doanya.