Angin musim penghujan semerbak menerpa wajah setiap orang yang keluar pagi itu. Gerimis lembut menyambut pagi di selatan Semarang yang dingin. Dingin semaki ke atas. Membuat anak-anak sekolah malas bangun karena dingin yang lumayan menusuk tulang. Membuat para pegawai negeri ragu untuk bekerja karena malas menaiki angkutan umum yang tentu akan terserang macet di jalan.
Namun kemalasan itu tidak berlaku bagi Ranin yang harus berangkat sekolah sepagi ini. Tambahan pagi, jam ke nol sudah dimulai sekitar 2 minggu lalu. Kelas XII menjadi tahun tersibuk yang akan dia jalani. Demi mendapat nilai terbaik di kertas ujiannya nanti dia harus merelakan kebiasaan berangkat siangnya ia lupakan sejenak. Dia melirik jam tangan simple yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada 10 menit sebelum bel sekolahnya mengamuk. Dan lumayanlah, pagi ini angkutan yang ditumpanginya tak terserang macet. Dia cukup beruntung, kesibukan pagi belum terlalu terlihat, karena pasti sebentar lagi dia bisa saja menyaksikan kepadatan jalan dari kelasnya di lantai tiga sekolahnya. Dan pagi ini beruntung, dia masih bisa menikmati jalanan lengang dari kelasnya.
Ranin menbaca pesan singkat dari Shita. Senyum sinisnya tiba-tiba terukir manis di wajahnya. Lana dan Hingga lagi. Batinnya sarkatis. Ranin beranjak dari kelasnya. Masih ada 10 menit sebelum bel jam kelima berbunyi. Dia menyambangi kelas Shita di ujung lantai 2. Dia harus sering-sering mengeratkan jaketnya saat merasa angin pagi itu semakin menusuk tulang. Ditambah lagi hujan yang tak terlalu deras namun tak kunjung berhenti membuatnya semakin kedinginan.
Shita sedang membolak-balik majalah fashion edisi terbarunya. Senyumnya terkembang melihat Ranin berada di ujung pintu kelasnya. Dengan cepat dia menutup majalahnya dan berlari keluar menghampiri Ranin.
“Hei, langsung ngacir aja abis dapet sms tadi.” Sindirnya penuh rona jahil. Ranin tak menaggapi serius.
“Apa dia masih marah sama gue ya, Ta? Sampe kemarin gue ketemu dia, dia masih diem.” Ranin menatap pepohonan yang basah oleh air hujan dengan melasnya.
“Gue gak mudeng masalah kalian sebenernya apa. Jadi gimana gue bisa tahu dia masih marah apa gak sama elo. Lagian dia juga gak cerita tentang loe, tuh.” Ranin menoleh mendengar kalimat terakhir Shita barusan.
“Dia gak cerita? Loe gak coba nanya ke dia? Tentang gue?”
“Aduh Ranin, kalo ntar gue tanya-tanya tentang loe, ntar dikira gue pengen tahu masalah orang. Lagian dia kan gak tahu kalo selama ini gue sering bocorin cerita dia ke loe.” Shita meniup kedua tangannya karena dingin mulai merayapi lagi.
“Baru sehari gak ketemu Si Hingga bikin gue bener-bener bingung. Gak ada yang dengerin cerita gue, Ta.”
“Iya juga,sih. Loe kan seringnya cerita sama dia ya. Sayangnya gue bukan orang yang tepat jadi pendengar setia. Hehe… Sori ya.”
“Gak apa-apa, gue maklum kok. Loe kan juga sibuk sama club cheers n tugas lainnya. Beda sama Hingga, sesibuk apapun dia pasti ada aja waktu buat gue. Tapi sekarang …. “ kalimat Ranin menggantung. Bel sudah berbunyi, dan Ranin mulai melangkah cepat saat dilihatnya guru Fisika sudah lebih dulu menuju kelasnya.
Kami juga ingin menikmati cerita pagi, sejuk sinar mtahari, wangi hujan gerimis, hembus angin siang hari, jingga langit sore ini, dan malam yang kami harap tak segera berakhir. Hanya saja kami dibuat berpikir bahwa Matematika dan Fisika lebih penting dibandingkan hanya menikmati hujan dari jendela kelas kami.
Angka-angka ini menjadi kabur si mata Ranin karena selaput bening melapisi bola matanya. Bukan menangis. Mengantuk. Siang ini ada acara rapat panitia majalah sekolahnya, My School Page Magazine. Hingga duduk di seberang tempat duduk Ranin. Tempat duduk yang dibuat melingkar membuat Ranin dan Hingga dalam posisi berhadapan. Hingga tampak serius dengan laptop acer andalannya. Sesekali menggeser kepalanya untuk melihat gadis yang terlihat sangat menderita karena rapat tak kunjung selesai. Matanya merah, berkali-kali dia mengucek matanya. Berkali-kali berusaha tetap terjaga walaupun matanya serasa dilem dengan lem super. Jelas saja Ranin ngantuk setengah mati. Rapat kali ini membahas content-content apa saja yang akan keluar di edisi depan. Sedangkan Ranin merupakan fotografer di redaksi majalah ini. Sebenarnya dia tak datang pun rapat tetap berjalan dengan baik. Karena memang kali ini tidak membahas sesuatu yang menyangkut dengan pekerjaannya.
“Buat interview beberapa band, tugas ini gue kasih ke reporter 1, Dina. Buat foto band-band ini gue kasih ke Ranin. Eh, Ranin mana, sih? Kok gak kedengeran suaranya?” Faza, ketua redaksi celingukan meneliti satu persatu anggota redaksi mencari Ranin. Dan akhirnya dia menghela napas dengan ekspresi lucu karena mendapati Ranin terlelap dengan tangan di dagu sebagai penyangga. Seisi ruangan hanya menggeleng pelan. Kecuali Hingga, tak berpaling dari layar laptopnya.
“Berhubung Ranin lagi tidur, tugas dia gue kasih ntar nyusul aja. Ntar tugasnya gue kasih ke loe, Ngga. Biar ntar Ranin contact loe, ok?” Hingga mengangguk kecil. Hingga menjadi orang yang paling dipercaya karena memang dialah yang paling dekat dengan gadis itu.
Rapat sudah selesai 30 menit yang lalu. Dan di ruangan ber-AC itu hanya tertinggal Hingga dan Ranin. Ranin masih belum bangun. Dan Hingga masih menyelesaikan beberapa desain untuk pelbagai macam proyek bisnisnya. Pukul 4 sore tepat. Hingga mengemasi laptopnya. Dan setelah itu, tatapannya terpaku pada wajah Ranin. Ketika polos dalam tidurnya.
Sore itu, hujan kembali mengguyur setelah tadi terhenti sebentar. Ranin menggikuti langkah panjang Hingga menuju ujung koridor lantai dasar gedung sekolahnya. Pikirannya disibukkan dengan Hingga. Cowok ini, sehari ini dia hanya berbicara saat memberikan jadwal deadline majalahnya. Tak lebih. Tak ingatkah dia setiap kali dia datang dengan segudang keluhannya, dan Ranin siap mendengarkan keluhannya. Tanpa sadar Ranin menggumamkan umpatan kecil sepanjang jalan tadi. Sampai sekarang sampai di lapangan parkir sekolahnya, tepat di belakang tubuh Hingga. Padahal Ranin tak berniat pulang bersama Hingga. Lagipula sedari tadi Hingga tak menawarkan tumpangan baginya. Lalu kenapa dia bisa mengikuti cowok ini sampai ke parkiran. Tepat di depan motornya pula.
“Loe mau nabeng?” tanya Hingga saat menyadari Ranin masih berada di belakangnya. Ranin diam, kalau bilang iya, gengsi. Mereka kan baru diem-dieman. Mau bilang nggak, tapi kok ujan. Alhasil, Ranin hanya bisa membalikkan tubuhnya berniat meninggalakan Hingga. Lebih baik dia pulang sendiri, lagipula hujan di luar sudah tidak terlalu deras. Berdiri menunggu angkutan agak lama tidak akan membuatnya basah kuyup.
5 langkah Ranin menghitung langkahnya. Dan tepat di ayunan kaki menuju langkah ke-enamnya, dia merasa ada sesuatu bersarang di kepalanya. Sebuah helm yang lumayan berat. Hingga pelakunya. Tanda bahwa Ranin harus pulang bersamanya.
“Helm loe kenapa?” Ranin berbalik sambil melepas helm milik Hingga. Walaupun sudah jelas baginya bahwa Hingga berniat mengajaknya pulang bersama. Hingga tak menjawab. Dia sudah berada di atas motornya sekarang. Menatap datar ke arah Ranin.
“Gue bisa pulang sendiri, kok.” Ranin berkata lagi sambil melangkah menuju motor Hingga dan memberikan helm itu pada pemiliknya. Sekejap, tanpa memberikan kesempatan Hingga untuk berkomentar, Ranin meninggalkan parkiran sore itu. Berjalan menembus rintik hujan yang sudah berubah menjadi gerimis lembut. Batin Ranin terus berkecamuk. Tak ingin menolak tawaran Hingga tadi, namun hatinya terlanjur tak mengerti dengan sikap Hingga yang membingungkannya. Sungguh, tak mengerti sedikitpun terhadap sikapnya.
Di bus itu, Ranin menahan agar matanya tak berkedip, karena jika satu kedip saja tercipta maka cairan bening itu akan mengalir dengan lancar di pipinya. Di samping bus itu, Hingga menaikkan kaca helmnya agar bisa melihat Ranin lebih jelas. Dia duduk di barisan paling belakang tepat di sebelah kaca bus tersebut. Kaca yang basah oleh airmata lagit sore itu menjadi pemisah rasa masing-masing dari mereka. Ranin tak menyadari keberadaan Hingga di sana. Sampai dia turun di pertigaan jalan menuju perumahan tempat tinggalnya. Hingga juga berhenti, dia berada cukup jauh dari Ranin hingga dia tak menyadari keberadaannya saat itu. Ranin pulang dengan mata basah juga akhirnya. Hujan kali ini berakhir di ujung pertigaan itu. Masing-masing bersama arahnya, kembali menekuri rasa.
***********
Mendung menggantung di langit-langit siang ini. Guru seni rupa kelas Hingga masih sibuk menjelaskan bagaimana cara membuat segilimabelas yang benar. Ia sendiri sibuk mengetik pesan singkat untuk Ranin. Walaupun sebenarnya dia masih tak ingin berhubungan dengan gadis itu. Namun karena memang kali ini dia harus menghubunginya.
Di kelas Ranin, dia merasakan ponselnya bergetad di saku roknya.
From : HinggaAntara
Pulang skul ad acara g?
Ranin berpikir sejenak, tidak, dia tidak ada acara untuk siang ini. Dia sudah mengetik balasan untuk sms Hingga, namun lagi-lagi pikirannya melarang. Lalu dia membatalkan untuk membalas sms Hingga. Dia harus membiasakan diri tanpa Hingga. Dia ragu kalau-kalu Hingga hanya untuk sementara baginya. Tak seperti dulu. Walaupun dia sangat berharap itu tak kan pernah terjadi.
Shita menghampiri Ranin di ujung koridor lantai dua. Dia sedang memandang ke deretan burung dara yang berjejer di atap rumah warga di sebelah gedung sekolahnya. Angin musim penghujan menerpa wajahnya menciptakan semerbak wangi dedauan di seberang gedung.
“Hei, lagi ngapain, sih? Bukannya pulang malah ngadem di sini.”
“Loe juga kenapa nggak ke aula? Malah nyamperin gue di sini. Bukannya ada rapat anak-anak Cheers?” suara Ranin terdengar sedikit aneh. Karena tadi malam. Hingga membuat matanya tak dapat menahan aliran cairan bening itu. Itu semua menghasilkan suaranya menjadi sedikit aneh di pagi harinya.
“Hingga baru cerita sesuatu sama gue.” Shita berkata singkat.
“Oh, kirain kenapa.” Shita menoleh cepat mendengar respons Ranin yang biasa-biasa saja. Tak biasanya. Sebenarnya dia sadar atau tidak dengan ucapannya barusan.
“Loe gak pengen tahu dia ngomongin apa? Loe gak pengen tahu dia cerita tentang siapa?” Shita semakin heran mendapat jawaban berupa gelengan dari Ranin. Ranin ganti menatap Shita dengan senyuman lalu meninggalkan Shita yang masih bengong.Ranin sudah lenyap di ujung tangga koridor lantai dua.
“Dia bialng kalau dia sebenarnya gak rela kakaknya suka sama loe, Ran. Dia sayang sama loe, Ran.” Shita berbicara seakan Ranin bisa mendengarnya dengan jarak jauh. Shita tahu, Ranin menyukai Mas Resa sedari dulu. Dan sekarang Shita juga tahu kalau Resa juga menyukainya.
Ranin menatap Hingga yang kini berada di hadapannya. Di tengah lapangan basket siang itu. Mendung masih menggantung menciptakan warna lagit menjadi hitam. Hingga memegang sebuah kotak kado kecil di tangannya bermotif Happy Feet, film kesukaan Ranin.
“Ini dari kakak gue. Tapi asal loe tahu, gue gak pernah terpikir untuk ngasihin ini ke elo. Gak akan. Ran, gue mohon sama loe. Jangan peduliin kakak gue. Please, jangan lihat dia, Ran. Selama ini gue diem bukan karena gue marah atau gak mau lagi jadi sahabat loe, bukan. Gue cuman gak siap mendengar cerita-cerita baru loe tentang kakak gue. Karena dengan mendengar cerita loe tentang dia, gue…” Hingga berhenti sejenak. Ranin masih menunggu kata-kata Hingga selanjutnya. Gerimis sudah turun menciptakan bintik bening di rambur Hingga dan Ranin.
“Gue ngerasa makin gak pantes buat loe. Gue sayang sama loe sejak persahabatan kita dimulai. Jadi, please. Luapain Resa dan mulai ngelihat gue di sini, Ran.”
“Persahabatan kita gak pernah dimulai, Ngga. Bahkan gak akan pernah berakhir. Walaupun gue percaya gak ada sahabat sejati di dunia ini.”
“Bahkan gue bukan sahabat yang baik buat loe.” Hujan mengguyur mereka berdua. Tak begitu deras. Tapi cukup membuat mereka berdua berteriak dalam berbicara agar dapat mendengar satu sama lain.
“Loe emang bukan sahabat yang baik buat gue, tapi gue sekarang yakin. Cuma loe yang gue cari waktu gue gak tahu harus ngapain. Hingga. Aku sayang kamu.” Air mata Ranin bercampur dengan air hujan siang itu. Mereka tersenyum dalam hujan. Menciptakan gelembung-gelembung rasa yang ternyata terpendam sejak dulu. Sungguh, Hingga Ranin menemukan sepotong jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar