Minggu, 04 Desember 2011

Sepasang Lensa Adelline (1)


Dia menatap gedung ini sedari tadi. Gedung yang berdiri megah di dalam sana. Dia semakin mempercepat langkahnya saat hujan mulai membasahi jalanan di belakangnya dan seolah semakin mengejarnya. Akhirnya sampailah dia di selasar gedung utama. Gedung yang lebih kecil dari yang tadi dia lihat saat melewati trotoar di depannya. Pukul  13.00 waktu Bandung. Matanya tak henti menatap setiap sudut ruangan gedung utama itu. Mencari sesuatu yang banyak orang di situ sedang mencarinya. Dan dia segera tahu tempat mana yang harus didatangi saat mendengar pengumuman dari pengeras suara itu. Aula gedung itu. Letaknya ada di lantai 3.
                “Selamat siang. Serta selamat saya ucapkan bagi kalian yang sudah resmi diterima di sekolah ini, Ganesha Bandung Art School.” Suara gemuruh tepuk tangan membahana di gedung yang besar itu. Dari sekian ratus orang di sana mungkin hanya dia yang terdiam tak menyambut hangat sambutan sang kepala sekolah tadi. Dengan malas dia menuju pojok ruangan itu, tepat di belakang dekat kaca besar yang menggantikan fungsi tembok gedung itu. Ditariknya headset dari saku tasnya, dan sesaat kemudian dia hanya bisa mendengar alunan music dari situ. Kini, ia hanya menatap jalanan di luar gedung melalui kaca besar tadi. Menerawang suasana yang selalu membuatnya ingin marah. Suasana gedung ini, bukanlah yang ia inginkan. Benar-benar bukan. Dia merasa dunia mengkhianati segala mimpinya. Bahkan, saat ini, dia merasa marah pada Tuhan. Ini semua karena gadis itu, Clara.
                Kemarin itu…
                Malam ini Ayah akan memutuskan siapa yang akan dikirim ke luar negeri untuk meneruskan masa SMA-nya di sana. Semua anggota keluarganya berkumpul di sana. Termasuk dia. Adelline. Dia sudah menunggu saat-saat in tiba. Saat di mana perjuangannya selama ini akan segera terbayar juga. Selama 3 tahun di SMP dia sudah berusaha mati-matian agar nilainya selalu naik. Walaupun di pertengahan semester 2 tahun lalu dia harus bersaing dengan saudara barunya. Tepatnya saudara tiri. Clara, resmi menjadi saingannya semenjak mamanya menjadi istri baru ayahnya. Mau tak mau Adel harus berjuang 2 kali lebih keras karena ternyata Clara tak semudah yang ia bayangkan. Dan jika malam ini dia tidak mendapatkan emas ini, entah bagaimana nantinya. Adel bisa melihat raut tenang yang terkesan angkuh dari sepasang ibu beranak itu. Kontras dengan ketegangan yang dirasakannya. Dan dia benci itu, dia benci dengan semua hal yang ada dlam diri ibu beranak itu. Namun bukan Adel namanya jika dia memperlihatkan dengan jelas ketegangannya. Dia lebih suka berpura-pura tak ada yang special di malam itu. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin tahu siap yang akan mendapat kesempatan emas kali ini. Belakangan dia merasa ragu, akankah dia yang mendapatkannya. Padahal dari dulu dia selalu optimis bahwa dialah yang pantas untuk ini. Bukan Clara.
                Adel mendapati Sang Ayah sudah duduk di kursi keluarga saat dia kedua anggota keluarga lainnya menghampiri sang ayah. Sepasang saudara tiri itu duduk berdampingan.
                “Ayah tahu, kalin berlomba untuk mendapatkan kesempatan ini. Dan siapa pun yang mendapatkannya ayah harap kalin tetap harus berbesar jiwa menerimanya. Toh, kalau bukan sekarang, kalian tetap akan ke luar negeri untuk meneruskan kuliah. Untuk saat ini, ayah pikir sama saja antara sekolah di dalam maupun luar. Dan ayah udah memutuskan bahwa yang akan pergi ke luar adalah… Clara” apa maksudnya? Adel tak perlu berpura-pura untuk tidak mendengar, itu terlalu jelas terucap dari sang ayah. Dua silabel yang sangat jelas terdengar olehnya. Mimpinya, harapannya, perjuangannya, ketegangan yang ia sembunyikan sedari tadi, lenyap. Lenyap hanya dengan dua silabel yang ayah katakan untuk malam itu. Bahkan terlampau cepat untuk membuat sebuah keputusan. Apa ayahnya selama ini menutup mata dengan semua perjuangannya? Lagi-lagi bukan Adel jika kali ini memperlihatkan dengan jelas kekecewaannya. Dan dia hanya bisa tersenyum bahagia. Tentu saja senyum pura-pura.
                Adel merasa hidupnya seperti mimpi buruk yang benar-benar menjadi kenyataan. Kesempatan itu bukan untuknya, dan sebagai gantinya dia harus bersekolah di sekolah seni yang dia sendiri setengah hati dalam menjalaninya.
 Suasana ruangan yang semakin bergemuruh membuatnya gerah. Dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu sejenak. Belum sampai 5 langkah, kakinya sedikit menyandung sesuatu. Dengan cepat dia menoleh kea rah benda yang terkena kakinya. Ternyata juga sebuah kaki, sebuah kaki milik seorang cowok yang lagi tertidur dengan headset putih menjuntai dari telinganya. Dia duduk di pojok ruangan itu pula. Awalnya Adel sedikit ragu, takut kalau-kalau cowok ini terbangun. Namun ternyata dia terlalu nyaman dengan tidurnya hingga tak merasakan getaran yang ada pada kakinya tadi. Tanpa berpikir panjang Adel segera melesat keluar ruangan.
Angin musim penghujan memang terkadang membuatnya leebih lega dan di pun merasa lebih baik. Adel menatap rerimbunan pohon yang sedari tadi meneteskan sisa-sisa air hujan. Ia baru saja menelpon rumah, kata Mbak Yun, asisten rumah tangganya, semua orang rumah sudah pergi dari 2 jam yang lalu. Ayah, tante Carissa dan Clara. Mereka sudah terbang menuju Washington DC. Tempat Clara akan meneruskan masa SMA-nya. Lagi-lagi dadanya terasa sesak. Impiannya harus berakhir di sini. Sekolah yang dihadirinya dengan setengah hati. Perlahan, bulir-bulir bening itu meluncur bebas dari matanya. Menetes mengenai rok seragam barunya. Sesekali ia mengeratkan blazer bertuliskan ‘Ganesha Bandung’ di dada kirinya. Sungguh, dia sangat tidak ikhlas dengan semua ini.
“Harusnya gue yang berangkat, harusnya gue yang ada di sekolah itu. Dan bukan loe, Clara. Harusnya loe di sekolah sialan ini. Bukan gue. Bukan loe, Adel. Harusnya dia, Clara.” Adel berkata lirih, berkata seolah Clara bisa mendengarnya.
“Dan harusnya loe nyari tempat nagis yang paling sesuai. Bukan tempat umum yang bisa diliat banyak orang gini.”Adel menoleh cepat saat terdengar suara itu dar samping tempat ia duduk.  Seorang siswa laki-laki yang Adel pikir sama seperti dia. Siswa tahun pertama. Namun dia tak mempedulikan omongan cowok itu. Dia terus menatap ke dapan tanpa berniat membalas ucapan cowok itu.
“Gue kira semua murid yang masuk ke sekolah ini punya jiwa optimistis yang tinggi. Ternyata nggak juga. Gue masih nemuin orang-orang yang kayak loe ini. Pesimis, dan bisanya Cuma nyalahin orang lain. Tapi apa loe tahu, apa yang udah ngebuat loe ga dapet yang loe pengen? Ini Cuma masalah waktu. Jangan Cuma bisa nyalahin orang lain.”
Adel menatap orang itu sekali lagi. Dengan gerakan cepat dia menghapus airmatanya dan sekejap meninggalkan cowok itu. Namun baru 3 langkah, dia berbalik lagi. Cowok itu menatap Adel heran. Tak disangka, Adel mengayunkan kaki kanannya menuju tulang kering kaki kanan cowok itu.. Awww… Adel hanya tersentum miring melihat cowok itu memegangi kakinya. “Jangan bicara sok malaikat. Gue gak butuh.” Cowok itu menatap kepergian Adel dengan taptapan sinis. Namun tatapan itu berubah menjadi senyuman miring yang bisa memperlihatkan lesung pipinya. Gadis itu, permainannya akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diselesaikan.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar